BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi kehidupan manusia, untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa juga merupakan kunci dalam mengatahui ilmu pengetahuan, karena adanya proses pertukaran informasi yang dapat menambah pemahaman manusia akan sesuatu yang dikehendakinya. Manusia yang dapat menguasai berbagai bahasa akan lebih mudah dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu manusia dituntut untuk dapat menguasai bahasa demi kelangsungan hidupnya.
Menurut data statistik penyandang tunarungu wicara sebanyak 602.768 jiwa di Indonesia, sebagian diderita oleh anak yang masih berada pada usia sekolah. Keku-rangan yang mereka miliki mengakibatkan mereka diacuhkan dalam lingkungan sosial dan lingkungan sekolah umum karena tidak dapat mengikuti dan beradaptasi terhadap anak normal lainnya, sehingga banyak didirikan sekolah bagi penyandang yang memiliki kekurangan, salah satunya SLB Negeri 1 Bantul.
Perhatian di Indonesia terhadap ketunarunguan dititik beratkan pada cara-cara bagaimana membuat anak tunarungu dapat mendengar dan pendidikan yang dapat dirasakan. Selama ini pendidikan pada SLB menekankan cara pendidikan anak yang normal meskipun kurikulum yang di ajarkan lebih di sederhanakan dengan bantuan bahasa yang di ajarkan. Sehingga anak tuna rungu dapat mencapai prestasi yang sesuai dengan anak normal lainnya.
Oleh karena itu kami ingin mengangkat makalah masalah anak tuna rungu yang dianggap keterbelakang mental menjadi seseorang yang dibanggakan bahkan dapat berprestasi baik secara nasional maupun internasional.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengaruh kemampuan berkomunikasi dalam kehidupan penyandang Tunarungu dan Tunawicara ?
2. Bagaimana metode pengajaran bahasa yang digunakan pada siswa tuna rungu di SLB N 1 Bantul ?
3. Bagaimana upaya – upaya guru SLB 1 Bantul dalam melibatkan anak penyandang tunarungu di dalam
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi kehidupan manusia, untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa juga merupakan kunci dalam mengatahui ilmu pengetahuan, karena adanya proses pertukaran informasi yang dapat menambah pemahaman manusia akan sesuatu yang dikehendakinya. Manusia yang dapat menguasai berbagai bahasa akan lebih mudah dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu manusia dituntut untuk dapat menguasai bahasa demi kelangsungan hidupnya.
Menurut data statistik penyandang tunarungu wicara sebanyak 602.768 jiwa di Indonesia, sebagian diderita oleh anak yang masih berada pada usia sekolah. Keku-rangan yang mereka miliki mengakibatkan mereka diacuhkan dalam lingkungan sosial dan lingkungan sekolah umum karena tidak dapat mengikuti dan beradaptasi terhadap anak normal lainnya, sehingga banyak didirikan sekolah bagi penyandang yang memiliki kekurangan, salah satunya SLB Negeri 1 Bantul.
Perhatian di Indonesia terhadap ketunarunguan dititik beratkan pada cara-cara bagaimana membuat anak tunarungu dapat mendengar dan pendidikan yang dapat dirasakan. Selama ini pendidikan pada SLB menekankan cara pendidikan anak yang normal meskipun kurikulum yang di ajarkan lebih di sederhanakan dengan bantuan bahasa yang di ajarkan. Sehingga anak tuna rungu dapat mencapai prestasi yang sesuai dengan anak normal lainnya.
Oleh karena itu kami ingin mengangkat makalah masalah anak tuna rungu yang dianggap keterbelakang mental menjadi seseorang yang dibanggakan bahkan dapat berprestasi baik secara nasional maupun internasional.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengaruh kemampuan berkomunikasi dalam kehidupan penyandang Tunarungu dan Tunawicara ?
2. Bagaimana metode pengajaran bahasa yang digunakan pada siswa tuna rungu di SLB N 1 Bantul ?
3. Bagaimana upaya – upaya guru SLB 1 Bantul dalam melibatkan anak penyandang tunarungu di dalam
kelas ?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini antara lain :
1. Dapat mengetahui kemampuan berkomunikasi anak penyandang Tunarungu dan Tunawicara.
2. Dapat mengetahui metode pengajaran bahasa bagi siswa tuna rungu.
3. Dapat mengetahui upaya – upaya guru SLB dalam melibatkan anak penyandang tunarungu dalam kelas.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini antara lain :
1. Dapat mengetahui kemampuan berkomunikasi anak penyandang Tunarungu dan Tunawicara.
2. Dapat mengetahui metode pengajaran bahasa bagi siswa tuna rungu.
3. Dapat mengetahui upaya – upaya guru SLB dalam melibatkan anak penyandang tunarungu dalam kelas.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI
Pengertian Tuna Rungu
Istilah tunarungu diambil dari kata ‘tuna’ dan ‘rungu’, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.
Tunarungu satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar ( a hard of hearing). Orang yang tuli ( a deaf person) adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendenar sehingga mengalami hambatan didalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa mengguna-kan alat bantu dengar (hearing aid), sedangkan yang kurang dengar ( a hard of hear-ing person) adalah sesorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukuup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendenga-rannya.
Istilah tunarungu diambil dari kata ‘tuna’ dan ‘rungu’, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.
Tunarungu satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar ( a hard of hearing). Orang yang tuli ( a deaf person) adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendenar sehingga mengalami hambatan didalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa mengguna-kan alat bantu dengar (hearing aid), sedangkan yang kurang dengar ( a hard of hear-ing person) adalah sesorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukuup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendenga-rannya.
1. Klasifikasi tuna rungu
Tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi gangguannya ( Easter Brooks, 1997) :
a. Conductive loss yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gamgguan pada bagian luar atau tengah
telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi kebagian dalam telinga.
b. Sensorineural loss yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telingga
atau saraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiri-man pesan bunyi ke otak.
c. Central Auditori Prossesing disorder yaitu gangguan pada system saraf pusat auditer yangmengakibatkan
individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik
pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemrosesan auditer ini mungkin memiliki
pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer. Audiometer adalah
Empat ketegori ketunarunguan berdasarkan tingkat fungsi telinga dalam menden-gar bunyi (Ashman dan Elkins, 1994) :
Empat ketegori ketunarunguan berdasarkan tingkat fungsi telinga dalam menden-gar bunyi (Ashman dan Elkins, 1994) :
a. Ketunarungguan ringan ( Mild Hearing Impirment)
Yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
Yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
b. Ketunarunguan sedang ( Moderate Hearing Impirment)
Yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat ter-bantu dengan alat bantu dengar ( Hearing aid).
c. Ketunarunguan Berat ( Severe Hearing Impirement )
Yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami pembicara bila memperhatikan wajah pembicara den-gan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukkannya, tetapi penderita ini dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
d. Ketunarunguan berat sekali ( Profound Hearing Impirement )
Yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Komunikasi visual adalah penyampaian pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan berupa bentuk visual yang komunikatif, efektif, efisien dan tepat. Elemen desain komunikasi visual adalah gambar, foto, huruf, warna dan tata letak berbagai media, baik dari media cetak, massa, elektronika, maupun audio visual. ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (super power).
Berdasarkan klasifikasi-klasifikasi di atas dapat di simpulkan bahwa, klasifikasi ketunarunguan ada 2 yaitu :
a. Tunarungu total, yaitu seorang penderita tuna rungu permanen, tidak dapat mendengar suara atau bunyi
Berdasarkan klasifikasi-klasifikasi di atas dapat di simpulkan bahwa, klasifikasi ketunarunguan ada 2 yaitu :
a. Tunarungu total, yaitu seorang penderita tuna rungu permanen, tidak dapat mendengar suara atau bunyi
sedikit saja.
b.Tunarungu sebagian, yaitu seorang penderita tunarungu yang masih dapat mendengar suara atau bunyi
b.Tunarungu sebagian, yaitu seorang penderita tunarungu yang masih dapat mendengar suara atau bunyi
meskipun hanya sedikit.
2. Pengertian Metode pengajaran
2. Pengertian Metode pengajaran
a. Metode mengajar adalah cara-cara pelaksanaan jalan yang di lalui untuk mengajar anak didik supaya
dapat tercapai tujuan belajar dan mengajar di sekolah.( prof. dr. winarno Surachmad, 1961).
b. Metode pelajaran dalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. (pasar
b. Metode pelajaran dalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. (pasar
ibu dan simanjutak, 1982).
c. Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa, metode pengajaran adalah suatu cara yang di
c. Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa, metode pengajaran adalah suatu cara yang di
gunakan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar kepada peserta didiknya.
BAB
BAB
PEMBAHASAN
1. Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dalam Kehidupan Penyandang Tunarungu dan
1. Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dalam Kehidupan Penyandang Tunarungu dan
Tunawicara
Menurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), ”Pada umunya pen-dengaran anak tuna rungu berpengarauh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa”.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rang-sang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula da-lam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).
Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rugu yang belum terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek ke-mampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah pengembangan ke-mampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program pendidikannya. Pende-katan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda. Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna rungu wi-cara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: “miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kia-san, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab penden-garan merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkemban-ganya secara optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
2. Metode pengajaran bahasa bagi anak tuna rungu
1) Belajar bahasa melalui membaca ujaran (speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujrannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pdada bibir. Di antara 50% lainnya, sebagian di buat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya (berger, 1972).
Pengetahuan tentang sruktur bahasa sangat di butuhakan bagi tunarungu, orana tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik dari pada tunarungu prabahasa, karena orang tunarungu yang bahasanya normal dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang tersembunyi itu. (Ashman dan Elkns, 1994)
2) Belajar bahasa melalui pendengaran
2) Belajar bahasa melalui pendengaran
Ashman dan Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu, alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tngkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaranyang terdiri dari dua komponen yaitu komponen eksternal(micropon dan speech processor) yang di pakai oleh pengguna, dan komponen internal(rangkaian elektroda yang melalui pembedahan di masukkan ke dalam cochlea(ujung organ pendengaran di telinga bagian dalam. Protesis implant di rancang untuk menciptakan ransangan penderingan dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (laughton,1997).
3) Belajar bahasa secara manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah men-gembangkan bahasa isyarat yang di bakukan secara nasional. Komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajari dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah adalah para penggunanya cenderung membentuk masyarakat eksklusif.
2. Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah men-gembangkan bahasa isyarat yang di bakukan secara nasional. Komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajari dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah adalah para penggunanya cenderung membentuk masyarakat eksklusif.
2. Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendeka-tan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral ber-lanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat ting-katan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kom-petensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komu-nikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu ber-komunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu ber-komunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
(Dicuplik dari http://dtarsidi.blogspot.com/2007/08/studikasustunarungu.html, oleh Kurnaeni) 31 Januari 2012 : 11.07
(Dicuplik dari http://dtarsidi.blogspot.com/2007/08/studikasustunarungu.html, oleh Kurnaeni) 31 Januari 2012 : 11.07
22 Oktober 2020 pukul 06.46
mau tanya nich ..klo tema seperti blog ini beli atau downloadya .. bagus .. klo beli dimana